Rabu, 27 Agustus 2008

Berdasar Panduan

(Bagian V dari buku MUSLIMONOT)

Marilah kita mencoba membuat puisi. Tapi dengan dua syarat :

Tatanan kalimat terdengar mempunyai irama yang sangat khas
Setiap kalimat harus memberikan makna mendalam buat kehidupan

Bisa? Atau sulit? Luar biasa sulit? Atau malah mustahil?

Memang wajar terasa sulit. Bahkan terasa mustahil. Kalau kita amati puisi zaman Pujangga Baru (Abdul Muis, Armin Pane dkk, tahun 1930-an), puisi umumnya berirama khas, sangat indah, tapi maknanya biasa saja. Sekedar berdendang, bukan suatu ajaran atau uraian masalah yang jelas maksudnya. Sebaliknya, pada zaman Kemerdekaan (Chairil Anwar dkk. pasca Proklamasi 1945), puisi sangat bermakna, sebagai bentuk ungkapan perjuangan melawan Belanda yang sangat membekas dalam, serta memberi semangat bagi para pejuang, tapi sama sekali tak peduli pada irama, bahkan tampaknya “tak sempat” memikirkan irama.

Tapi sebenarnya untaian kalimat yang memenuhi dua syarat itu bisa kita dapatkan. Bahkan bertebaran. Mari kita lihat :

Qul huwallahu ahad
Allahush shomad
Lam yalid walam yuulad
Wa lam yakun-lahu kufuwan ahad


(Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan, yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.)

Itulah surat Al-Ikhlas [Surat no 112]. Kita lihat iramanya yang sangat teratur. Maknanya juga jelas karena berisi keterangan tentang Allah SWT, bukan sekedar berdendang.
Umumnya surat dalam Qur’an memang seperti itu, berirama dan bermakna. Kita lihat surat An-Naas [114] (berakhiran nas, nas, nas, nas, nas, nas; berisi keterangan tentang Allah). Atau surat Al-Ma’un [107] (berakhiran in, im, in, in, un, un, un; berisi keterangan tentang siapa saja yang mendustakan agama). Atau surat Al-‘Ashr [103] (berakhiran ashr, usr, abr; berisi arti penting waktu). Surat At-Takatsur [102] (berakhiran ur, ir, un, un, in, im, in, im; berisi tentang tidak terpujinya sikap bermegah-megahan). Semuanya juga memberikan arti yang dalam buat hidup manusia.

Kita bisa menirunya?

Kiranya kita tak perlu kecewa tak bisa menirunya. Orang Arab di zaman Nabi Muhammad saw juga tak bisa menirunya. Padahal saat itu adalah masa keemasan syair di tanah Arab. Mereka mencoba menirunya tapi tak pernah bisa. Bahkan Walid bin Mughirah, pakar syair paling ternama, gagal menirunya.

Kita barangkali heran mengapa mereka ramai-ramai meniru Qur’an. Itu karena saat itu memang Qur’an menantang seluruh pihak untuk menirunya, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka….” (TQS. Al-Baqarah [2] : 23-24).

Allah SWT memberikan tantangan itu untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu “asli” dari-Nya, tak ada seorang pun manusia di seluruh penjuru bumi ini yang mampu menirunya, walau satu surat saja. Bahwa dari zaman Nabi sampai hari kiamat tak pernah ada, dan tak akan pernah ada, yang bisa menirunya.

Sekali lagi, kita bisa menirunya? Bisa? Bisa…?

Padahal untuk menjawab tantangan itu sebenarnya hanya cukup satu surat saja. Sebut saja surat pendek, yang terdiri dari tiga atau empat ayat, yang ayatnya juga pendek-pendek, seperti surat Al-Ikhlash atau Al-‘Ashr. Sementara itu, Qur’an itu sangat panjang, terdiri dari lebih enam ribu ayat, dan banyak ayatnya yang sangat panjang, seperti ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Jadi, mungkinkah Al-Qur’an itu buatan manusia?

Orang Arab di zaman Nabi tak ada yang bisa. Dan Nabi Muhammad saw hanyalah satu orang di antara mereka. Beliau bahkan tak bisa membaca dan menulis. Pertanyaan bagi kita: Mungkinkah Qur’an buatan bangsa Arab? Mungkinkah buatan Muhammad? Mungkinkah Muhammad bukan Rasul Allah? Mungkinkah Muhammad pembohong? Mungkinkah ia mempunyai kejeniusan ribuan kali lipat dari penduduk pada umumnya sehingga ia mampu membuat enam ribuan ayat yang sebagiannya sangat panjang, sementara kaumnya membuat tiga ayat pendek saja tak bisa?

Memang ada tuduhan dari orang Arab di zaman Nabi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an disadur dari orang asing oleh beliau. Tapi Al-Qur’an dalam hal ini menjawab, “…padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non arab), sedangkan Al-Qur’an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” (TQS. An-Nahl [16]: 103).

Pertanyaan bagi kita: Mungkinkah Al-Qur’an bikinan dari orang non arab, padahal Qur’an itu berbahasa Arab, sedangkan orang Arab saja tak ada yang bisa membuatnya?
Sekali lagi, mungkinkah Al-Qur’an itu buatan manusia?

Tentang fenomena Al-Qur’an ini, masih ada dua hal lagi yang perlu kita soroti.

Pertama, Al-Qur’an sering diturunkan saat orang bertanya-tanya pada Nabi saw tentang suatu masalah atau terkait dengan sebuah kejadian khusus. Semisal tentang boleh tidaknya berperang pada bulan haram, sikap seorang suami pada istrinya, atau pertanyaan-pertanyaan dari orang kafir yang segera butuh jawaban. Saat itulah ayat-ayat Qur’an hadir, menjawab masalah secara tuntas, memuaskan akal dan menentramkan hati. Sekarang mari kita bayangkan, kita harus membuat syair yang selain bermakna dan berirama, juga harus menjawab masalah secara sempurna dalam waktu cepat. Bisakah? (Padahal dua syarat saja sudah membuat kita pusing).

Kedua, Nabi saw juga menyampaikan sabda beliau (hadits) kepada para sahabat. Gaya bahasa hadits sangat berbeda dengan Qur’an. Hadits mempunyai gaya bahasa tak beda dengan gaya bicara penduduk Arab lainnya. Dengan melihat fakta ini, mungkinkah Qur’an buatan Nabi? Kita bandingkan dengan anak-anak kecil di sekitar kita yang menyanyikan lagu dari grup musik Radja, Dewa atau Ratu, disamping berbicara macam-macam dengan temannya. Kiranya kita bisa menyimpulkan apakah ungkapan dalam nyanyian itu sama dengan kata-kata dalam pembicaraan mereka ataukah beda. Kita juga bisa menyimpulkan apakah mungkin anak-anak itu yang membuat nyanyian itu. (Ini bukan berarti hadits diragukan. Ini hanya bicara betapa gaya bahasa Qur’an itu terasa sangat khas, berbeda dengan gaya bicara manusia umumnya. Tentang keyakinan pada hadits, Al-Qur’an sendiri memerintahkan kita mempercayainya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (TQS. Al-Hasyr [59] : 7)).

Dikisahkan, Khalid bin Walid, panglima perang Quraisy yang menghancurkan pasukan muslim dalam Perang Uhud, sering kali ragu akan posisinya yang memusuhi umat Islam. Ia sering kali memikirkan keajaiban Qur’an. Amru bin Ash, yang mengejar-ngejar umat Islam yang hijrah ke Ethiopia, justru ragu akan sikapnya setelah mendengar Ja’far bin Abi Thalib menyampaikan Qur’an pada Najasyi, Raja Ethiopia. Abu Sufyan, pemimpin Quraisy yang mengejar umat Islam ke istana Romawi, mulai berpikir kebenaran Islam dalam adu debatnya dengan perwakilan muslim di hadapan Heraklius, Kaisar Romawi. Kita tahu, ketiga tokoh utama Quraisy itu akhirnya masuk Islam.

Mungkinkah Qur’an buatan manusia?
...
...

....

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat menuaikan ibadah puasa.

Salam.