Kamis, 14 Agustus 2008

Demi Kesehatan : Banyak Makanan?


(satu renungan dalam Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka)

Saya masih ingat waktu saya sedang makan di suatu resepsi pernikahan ketika saya masih mahasiswa dulu. Saat itu saya makan benar-benar banyak. Hampir semua jenis lauk yang disajikan saya ambil. Apalagi ketika makan es krim. Whhh.., saya ambil beberapa gelas. Pokoknya, benar-benar saya puaskan. “Biar nggak rugi. Nyumbang kok!” Begitu pikir saya. Dalam benak, saya banding-bandingkan antara sumbangan saya dan “harga” makanan yang saya makan.
Tapi setelah pulang perut saya jadi mulas dan mencret-mencret. Baru setelah beberapa kali buang air besar, saya merasa perut saya agak mendingan.

Lama setelah peristiwa itu saya merenung…, mengapa saat itu yang saya pikirkan cuma makanan dan uang? Mengapa saya sama sekali tidak berpikir tentang tubuh saya? Bukankah makan itu untuk tubuh? Lantas mengapa demi makan malah tubuh saya korbankan? Mengapa saya tidak berpikir kesehatan saya, tapi hanya berpikir “tidak rugi”, berpikir uang? Bukankah uang itu untuk kesehatan? Mengapa demi uang, kesehatan malah saya korbankan? Mengapa saya hanya berpikir “barang”, bukannya berpikir “saya”?

Tapi kalau saya pikir lebih jauh, rasanya kok yang rakus dan bodoh bukan cuma saya. Berapa banyak teman saya yang juga begitu?

Bahkan berikutnya saya menemukan bahwa orang macam saya itu makin bejibun, tidak cukup teman-teman saya. Belum tentu mereka semuanya berpikir persis saya dulu, tapi –minimal-- benak mereka terkondisikan menjadi seperti benak saya, baik sadar atau tidak sadar, baik berpikir langsung maupun menjadi bagian dari sistem pemikiran. Demikian banyak jumlah mereka. Tak hanya ribuan, jutaan, atau puluhan juta. Tapi milyaran…, hampir seluruh penduduk bumi! Ini karena sistem ekonomi yang kita pakai selama ini, Kapitalisme (kenyataannya harus diakui: de jure atau de facto) ternyata telah mengkondisikan tiap bayi yang lahir di planet ini dengan orientasi “jumlah barang”, bukan orientasi “kesejahteraan manusia”.

Tidak ada komentar: