Rabu, 27 Agustus 2008

Berdasar Panduan

(Bagian V dari buku MUSLIMONOT)

Marilah kita mencoba membuat puisi. Tapi dengan dua syarat :

Tatanan kalimat terdengar mempunyai irama yang sangat khas
Setiap kalimat harus memberikan makna mendalam buat kehidupan

Bisa? Atau sulit? Luar biasa sulit? Atau malah mustahil?

Memang wajar terasa sulit. Bahkan terasa mustahil. Kalau kita amati puisi zaman Pujangga Baru (Abdul Muis, Armin Pane dkk, tahun 1930-an), puisi umumnya berirama khas, sangat indah, tapi maknanya biasa saja. Sekedar berdendang, bukan suatu ajaran atau uraian masalah yang jelas maksudnya. Sebaliknya, pada zaman Kemerdekaan (Chairil Anwar dkk. pasca Proklamasi 1945), puisi sangat bermakna, sebagai bentuk ungkapan perjuangan melawan Belanda yang sangat membekas dalam, serta memberi semangat bagi para pejuang, tapi sama sekali tak peduli pada irama, bahkan tampaknya “tak sempat” memikirkan irama.

Tapi sebenarnya untaian kalimat yang memenuhi dua syarat itu bisa kita dapatkan. Bahkan bertebaran. Mari kita lihat :

Qul huwallahu ahad
Allahush shomad
Lam yalid walam yuulad
Wa lam yakun-lahu kufuwan ahad


(Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan, yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.)

Itulah surat Al-Ikhlas [Surat no 112]. Kita lihat iramanya yang sangat teratur. Maknanya juga jelas karena berisi keterangan tentang Allah SWT, bukan sekedar berdendang.
Umumnya surat dalam Qur’an memang seperti itu, berirama dan bermakna. Kita lihat surat An-Naas [114] (berakhiran nas, nas, nas, nas, nas, nas; berisi keterangan tentang Allah). Atau surat Al-Ma’un [107] (berakhiran in, im, in, in, un, un, un; berisi keterangan tentang siapa saja yang mendustakan agama). Atau surat Al-‘Ashr [103] (berakhiran ashr, usr, abr; berisi arti penting waktu). Surat At-Takatsur [102] (berakhiran ur, ir, un, un, in, im, in, im; berisi tentang tidak terpujinya sikap bermegah-megahan). Semuanya juga memberikan arti yang dalam buat hidup manusia.

Kita bisa menirunya?

Kiranya kita tak perlu kecewa tak bisa menirunya. Orang Arab di zaman Nabi Muhammad saw juga tak bisa menirunya. Padahal saat itu adalah masa keemasan syair di tanah Arab. Mereka mencoba menirunya tapi tak pernah bisa. Bahkan Walid bin Mughirah, pakar syair paling ternama, gagal menirunya.

Kita barangkali heran mengapa mereka ramai-ramai meniru Qur’an. Itu karena saat itu memang Qur’an menantang seluruh pihak untuk menirunya, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka….” (TQS. Al-Baqarah [2] : 23-24).

Allah SWT memberikan tantangan itu untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu “asli” dari-Nya, tak ada seorang pun manusia di seluruh penjuru bumi ini yang mampu menirunya, walau satu surat saja. Bahwa dari zaman Nabi sampai hari kiamat tak pernah ada, dan tak akan pernah ada, yang bisa menirunya.

Sekali lagi, kita bisa menirunya? Bisa? Bisa…?

Padahal untuk menjawab tantangan itu sebenarnya hanya cukup satu surat saja. Sebut saja surat pendek, yang terdiri dari tiga atau empat ayat, yang ayatnya juga pendek-pendek, seperti surat Al-Ikhlash atau Al-‘Ashr. Sementara itu, Qur’an itu sangat panjang, terdiri dari lebih enam ribu ayat, dan banyak ayatnya yang sangat panjang, seperti ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Jadi, mungkinkah Al-Qur’an itu buatan manusia?

Orang Arab di zaman Nabi tak ada yang bisa. Dan Nabi Muhammad saw hanyalah satu orang di antara mereka. Beliau bahkan tak bisa membaca dan menulis. Pertanyaan bagi kita: Mungkinkah Qur’an buatan bangsa Arab? Mungkinkah buatan Muhammad? Mungkinkah Muhammad bukan Rasul Allah? Mungkinkah Muhammad pembohong? Mungkinkah ia mempunyai kejeniusan ribuan kali lipat dari penduduk pada umumnya sehingga ia mampu membuat enam ribuan ayat yang sebagiannya sangat panjang, sementara kaumnya membuat tiga ayat pendek saja tak bisa?

Memang ada tuduhan dari orang Arab di zaman Nabi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an disadur dari orang asing oleh beliau. Tapi Al-Qur’an dalam hal ini menjawab, “…padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non arab), sedangkan Al-Qur’an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” (TQS. An-Nahl [16]: 103).

Pertanyaan bagi kita: Mungkinkah Al-Qur’an bikinan dari orang non arab, padahal Qur’an itu berbahasa Arab, sedangkan orang Arab saja tak ada yang bisa membuatnya?
Sekali lagi, mungkinkah Al-Qur’an itu buatan manusia?

Tentang fenomena Al-Qur’an ini, masih ada dua hal lagi yang perlu kita soroti.

Pertama, Al-Qur’an sering diturunkan saat orang bertanya-tanya pada Nabi saw tentang suatu masalah atau terkait dengan sebuah kejadian khusus. Semisal tentang boleh tidaknya berperang pada bulan haram, sikap seorang suami pada istrinya, atau pertanyaan-pertanyaan dari orang kafir yang segera butuh jawaban. Saat itulah ayat-ayat Qur’an hadir, menjawab masalah secara tuntas, memuaskan akal dan menentramkan hati. Sekarang mari kita bayangkan, kita harus membuat syair yang selain bermakna dan berirama, juga harus menjawab masalah secara sempurna dalam waktu cepat. Bisakah? (Padahal dua syarat saja sudah membuat kita pusing).

Kedua, Nabi saw juga menyampaikan sabda beliau (hadits) kepada para sahabat. Gaya bahasa hadits sangat berbeda dengan Qur’an. Hadits mempunyai gaya bahasa tak beda dengan gaya bicara penduduk Arab lainnya. Dengan melihat fakta ini, mungkinkah Qur’an buatan Nabi? Kita bandingkan dengan anak-anak kecil di sekitar kita yang menyanyikan lagu dari grup musik Radja, Dewa atau Ratu, disamping berbicara macam-macam dengan temannya. Kiranya kita bisa menyimpulkan apakah ungkapan dalam nyanyian itu sama dengan kata-kata dalam pembicaraan mereka ataukah beda. Kita juga bisa menyimpulkan apakah mungkin anak-anak itu yang membuat nyanyian itu. (Ini bukan berarti hadits diragukan. Ini hanya bicara betapa gaya bahasa Qur’an itu terasa sangat khas, berbeda dengan gaya bicara manusia umumnya. Tentang keyakinan pada hadits, Al-Qur’an sendiri memerintahkan kita mempercayainya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (TQS. Al-Hasyr [59] : 7)).

Dikisahkan, Khalid bin Walid, panglima perang Quraisy yang menghancurkan pasukan muslim dalam Perang Uhud, sering kali ragu akan posisinya yang memusuhi umat Islam. Ia sering kali memikirkan keajaiban Qur’an. Amru bin Ash, yang mengejar-ngejar umat Islam yang hijrah ke Ethiopia, justru ragu akan sikapnya setelah mendengar Ja’far bin Abi Thalib menyampaikan Qur’an pada Najasyi, Raja Ethiopia. Abu Sufyan, pemimpin Quraisy yang mengejar umat Islam ke istana Romawi, mulai berpikir kebenaran Islam dalam adu debatnya dengan perwakilan muslim di hadapan Heraklius, Kaisar Romawi. Kita tahu, ketiga tokoh utama Quraisy itu akhirnya masuk Islam.

Mungkinkah Qur’an buatan manusia?
...
...

....

Jumat, 15 Agustus 2008

Prosedur pembelian


Untuk membeli buku-buku kami, anda tinggal pesan ke nomor telp./hp kami:

(024) 7477524, 081326161128.

Untuk Jawa, ongkos kirim GRAAATIIIIIISSSSS!!! Untuk luar Jawa, dikenakan tambahan sesuai perhitungan kami.

Selanjutnya, uang bisa ditransfer ke BCA, dng. no. 2520727101, a.n Hevi.

Sehubungan dengan masih adanya perbaikan manajerial pada kami, untuk sementara daftar agen belum bisa kita tampilkan. Insyaallah menyusul.

Daftar Harga


Andai Sahabat Nabi Lihat TiVi

jumlah hal : 92 hal +i, ukuran : 13 x 10 cm, harga : Rp. 18.000,-

Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka
jumlah hal : 202 hal +i, ukuran : 20,5 x 13 cm, harga : Rp. 35.000,-

Demokrasi Tersandera?
jumlah hal : 192 hal +i, ukuran : 20,5 x 13 cm, harga : Rp. 35.000,-

Kota Roma Menanti Anda
jumlah hal : 200 hal +i, ukuran : 20,5 x 13 cm, harga : Rp. 35.000,-

Muslimonot
jumlah hal : 248 hal +i, ukuran : 20,5 x 13 cm, harga : Rp. 45.000,-

Pasti Ada Jalan
jumlah hal : 384 hal +i, ukuran : 20,5 x 13 cm, harga : Rp. 55.000,-

Kota Roma Menanti Anda



Pengarang : M. Choirul Anam

Kehidupan ini laksana panggung sandiwara. Di sana dimainkan berbagai peran. Di panggung itu selalu terjadi pergulatan antara kebaikan dan kejahatan; keadilan dan kedzaliman; keimanan dan kekufuran.

Terjadinya pergulatan adalah sesuatu yang alami dan sudah menjadi sunatullah. Sebab, memang seperti itulah dunia diciptakan. Mengharap dunia yang “datar” tanpa ada dinamika pergulatan, merupakan harapan utopis yang barangkali hanya ada pada dongeng. Bahkan, didalam dongeng sekalipun, selalu ada dinamika dan pergulatan.

Dalam pergulatan itu, seringkali terjadi pergiliran dominasi dan kemenangan. Seringkali yang benar “menang” dan yang jahat “kalah”. Kadang-kadang yang terjadi justeru sebaliknya, yang benar “kalah” dan yang jahat “menang”. Hari-hari kemenangan itu ibarat roda, berputar terus. Kadang di bawah dan kadang di atas.demikianlah sunatullah yang berlaku di dunia ini. “Dan hari-hari (kemenangan itu) Kami pergilirkan diantara manusia.” (TQS. Ali Imron [3]:40)

Namun, akhir pergulatan itu selalu dimenangkan yang benar, meskipun proses menuju kemenangan itu seringkali sangat panjang, berliku-liku, dan disertai perjuangan yang mengharukan, “Dan katakanlah : kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu (pasti)akan lenyap.(TQS. Al Isra’ [17]:18)

Ketika kekufuran mendominasi, kehidupan ini jadi kacau. Dunia porak poranda. Nafsu manusia jadi liar. Manusia kehilangan rasa kemanusiaannya. Jiwa manusia semakin kering. Tetesan embun kedamaian menjadi kering. Kedzaliman, kebejatan, dan kemunafikan dipertontonkan dan dipertuhankan. Anak-anak tak berdosa dibantai dengan sadis, orang-orang lemah didzalimi, dan wanita-wanita diperkosa. Manusia “memakan” manusia. Tangis dan jeritan terdengar dimana-mana. Kegelisahan, ketakutan dan keputus-asaan menyelimuti kehidupan Manusia. Tatanan Tuhan dan syari’ah-Nya yang agung dijungkir-balikkan…
Itulah saat dimana kekufuran mendominasi dan berada pada posisi “menang”. Dan sayangnya, saat ini adalah saat dimana kekufuran dan kedzaliman kerada dalam kemenangan.

Di saat kekufuran dan kedzaliman berada dalam kemenangan seperti sekarang ini, apa yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang masih memiliki kesadaran, nurani, dan keimanan? Ya, mereka harus berani mengambil inisiatif untuk menyadarkan manusia yang sudah kehilangan kesadaran, kemudian mengajak mereka bersama-sama untuk melakukan perubahan. Mereka harus berusaha seoptimal mungkin untuk merevolusi kekufuran dan kedzaliman sampai akar-akarnya. Kekufuran dengan berbagai bentuknya, baik yang klasik berupa paganisme, animisme, dinamisme, atau yang modern seperti kapitalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme, semua harus didekonstruksi. Kemudian dibangun kembali dengan pondasi keimanan yang darinya akan memancarkan sistem kehidupan yang membawa kebahagiaan dan keadilan, yaitu syari’ah-Nya yang agung, inilah “proyek besar”, yakni perubahan social secara fundamental.
Namun, gerakan penyadaran dan perubahan ini bukanlah pekerjaan yang ringan. Hambatan, rintangan, dan berbagai tantangan telah menunggu di depan mata. Karena pada saat itu, energi kejahatan aaakan dikerahkan untuk membendung energi kebaikan yang akan mengubahnya.

Orang-orang yang sudah terlanjur menikmati “sistem jahat” tidak akan pernah rela dengan perubahan. Mereka akan berusaha segenap tenaga, untuk membungkam gerakan ini. Mereka tidak akan membiarkan ada yang mengganggu singgasananya. Dan mereka akan menghalalkan segala cara agar kejahatan yang mereka lakukan tak ada yang mengusik.

Oleh karena itu, gerakan penyadaran ini harus sadar bahwa berbagai macam hambatan, ujian, tantangan, dan benturan merupakan kemestian yang tak terhindarkan.

Ket. :
jumlah hal : 200 hal+i
ukuran : 20,5 x 13 cm
harga : Rp. 35.000,-

Kamis, 14 Agustus 2008

Komentar-komentar atas AEB&EOM

Buku ini memberikan jawaban segar dan bernas tentang solusi atas kapitalisme yang sesat selama ini. Buku ini memberikan pengetahuan yang cerdas dan unik tentang bagaimana sistem ekonomi Islam ditegakkan.

Eko Prasetyo (Resist Book)

Penulis “Orang Miskin Dilarang Sekolah



Ketika membaca halaman-halaman awal buku ini, satu hal yang sangat terasa adalah “gaya” penulisnya yang “menggugah”. Dengan kalimat-kalimat “provokatif” ia menggerakkan hasrat pembacanya untuk membolak-balik halaman-halaman selanjutnya. Pesannya tentang peradaban dan ekonomi Islam cukup meyakinkan orang untuk bisa menerima bahwa ini merupakan peradaban dan sistem alternatif yang bisa mengeliminir berbagai dampak dari sistem kapitalis.

Prof. Edy Suandi Hamid

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta

Pasti Ada Jalan



Pengarang : Muhammad Ainul Yaqin

Setiap orang akan senantiasa menghadapi persoalan dalam kehidupannya. Bagi seorang muslim, yang meyakini Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh (mengatur seluruh aspek hidup manusia), tentu akan meyakini bahwa Allah SWT pasti memberi jalan keluar atas setiap persoalan yang dihadapinya. Tentu saja syaratnya harus ada ketakwaan dalam dirinya. Karena Allah berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” [TQS. Ath-Thalaaq : 2]; “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” [TQS. Ath-Thalaaq : 4].

Buku yang berjudul “PASTI ADA JALAN, Bunga Rampai Pemikiran Islam Penggugah Akal Pengokoh Jiwa”, ini hadir untuk mengulas hal tersebut. Karena merupakan bunga rampai, tema-tema yang ada dalam buku ini tidak secara langsung berkaitan, walaupun tetap ada tema atau judul yang satu berkaitan dengan yang lain. Tetapi yang terpenting dari setiap pembahasan dapat ditarik benang merahnya bahwa setiap persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan pasti ada jalan keluarnya.

Meskipun tidak kronologis dalam pembahasannya, buku ini tetap berusaha menghadirkan kesan bahwa Islam mampu menjawab setiap persoalan hidup manusia. Ini untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mengatur semua aspek (mabda’i). Artinya, mampu menjawab tak hanya masalah keakheratan, tapi juga keduniawian dan kekinian. Bukan hanya masalah individu, tapi juga masalah kemasyarakatan dan kenegaraan.

Ketrg. :
jumlah hal : 384 + i

ukuran : 20,5 x 13 cm
harga : Rp. 55.000,-

MUSLIMONOT


Pengarang : Husain Matla

Barangkali banyak di antara kita yang waktu kecil dulu suka nonton film semacam Flash Gordon, Johny Quest, atau Star Wars. Atau membaca kisah astronot di sebuah satelit atau tempat antariksa lainnya. Intinya film-film atau kisah semacam itu mengisahkan adanya suatu tim yang berada di suatu planet, satelit, atau tempat misterius untuk menjalankan suatu tugas dan di situ mereka berhadapan dengan musuh. Umumnya film-film atau kisah itu memperlihatkan bahwa tim itu punya beberapa ciri khas :
  • Berada di suatu planet, satelit, atau tempat misterius.
  • Menjalankan perintah dari pihak tertentu.
  • Menjalankan sebuah misi.
  • Selama menjalankan tugas menghadapi penentangan dari kelompok tertentu yang menghalangi misi.
  • Kelompok itu kemudian dihadapi sehingga terjadi pertikaian.
  • Tim itu menggunakan panduan berupa buku atau sarana informasi lain dari pemberi tugas mereka.
  • Selama di planet itu mereka selalu berkomunikasi dengan pemberi tugas.
  • Setelah misi itu selesai mereka kemudian pulang, meninggalkan planet itu, untuk berikutnya melaporkan hasil kerja mereka.
Barangkali pula, banyak di antara kita dulu yang sempat mengkhayalkan apa yang ada di film atau kisah itu, bahkan menghayatinya. Sederet fantasi pun bersemilir dalam benak kita. Kita melamunkan indahnya menjalankan misi di sebuah tempat asing dengan berbagai nuansa dan romantikanya.

Jika itu khayalan kita di masa lalu, sebenarnya khayalan itu sekarang sudah berhasil kita raih dan kita jalani. Dan itu adalah nyata, real, pasti, dan bukan khayalan lagi! Ini bukan mimpi, tapi kenyataan!!!

(Cuplikan MUSLIMONOT)

Ket. :
jumlah hal : 248 hal+i

ukuran : 20,5 x 13 cm
harga : Rp. 45.000,-

Misi di Sebuah Planet


(cuplikan Muslimonot)

Adapun tentang panduan, kiranya sangat jelas. Bukankah Al-Qur’an dan hadits adalah panduan kita menjalankan segala aktivitas di planet ini? Kita juga berkomunikasi dan melaporkan segala aktivitas kita kepada Allah SWT melalui shalat dan do’a. Tentang komunikasi ini, kiranya malah lebih “canggih” dari film-film atau kisah misi karena tanpa media apapun tapi dijamin Allah pasti mendengar (Tak mungkin sinyal kita tak ditangkap-Nya). Juga, kita tidak membawa perlengkapan yang besar dan rumit. Perlengkapan supercanggih sudah diberikan Allah include dalam tubuh kita, berupa indera dan organ tubuh.

Kita tahu, alat-alat yang otomatis, kecil, atau bahkan tak tampak (nir piranti) justru merupakan bentuk teknologi yang lebih canggih (Seperti wireless, yang lebih canggih dari kabel. Handphone sekarang juga jauh lebih kecil dan tanpa antenna). Oksigen juga langsung dikirim di sini dalam jumlah luar biasa melimpah. Bukan dalam bentuk “kalengan” serta harus digendong seperti para kosmonot Uni Soviet di stasiun luar angkasa MIR dulu. Tidakkah ini semua kecanggihan?! Berikutnya kita berusaha keras agar misi ini berhasil. Kemudian setelah kita meninggalkan planet ini (meninggal dunia), kita akan mempertanggungjawabkan segala hal yang telah kita lakukan di sini kepada Sang Pemberi Tugas. Begitulah yang selama ini kita yakini. Sejenak kita berpikir :


Bukankah saat ini kita telah berhasil menggapai cita-cita kita? Saat ini kita menjalankan sebuah Misi di Sebuah Planet. Saat ini kita jadi Astronot. Bukankah khayalan kita dulu saat ini sudah benar-benar terjadi…? Sekali lagi, bukankah telah berhasil…?!

(Cuplikan MUSLIMONOT)

Pengantar Muslimonot


oleh : Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Kita bayangkan sebuah kampung terpencil di tengah hutan rimba, di mana belum ada fasilitas jalan, listrik, telekomunikasi dan sebagainya. Orang-orang di sana juga masih hidup dalam tingkatan yang tergolong primitif. Rumah-rumah mereka terbuat dari potongan dahan-dahan pohon dan atapnya rumbia. Namun tiba-tiba kita temukan sebuah rumah modern, terbuat dari beton dan kaca, dengan fasilitas mewah. Terdapat pembangkit listrik bertenaga surya. Ada antene parabola untuk telekomunikasi ke dunia luar. Di dalam gedung yang pendingin udara itu terdapat fasilitas lengkap untuk hidup dan bekerja. Di atap gedung terdapat landasan helikopter. Mungkin itu satu-satunya sarana transportasi ke dunia luar.


Melihat ini semua, kita tentunya akan berpikir dua hal: Pertama, gedung modern itu pasti dibuat oleh orang dari luar kampung tersebut. Kedua, pembuatnya itu pasti punya maksud dengan gedung itu. Barangkali gedung itu adalah fasilitas penelitian bertaraf internasional, untuk misi inventarisasi keanekaragaman hayati. Mungkin juga gedung itu dibuat untuk misi suatu perusahaan pertambangan galian langka yang sangat rahasia. Yang jelas, pencipta gedung itu memiliki maksud tertentu di balik ciptaannya.

Demikian juga dengan bumi kita ini. Kalau kita menjelajahi alam semesta, akan kita dapatkan bahwa planet kita ini sangat unik. Jaraknya ke matahari begitu pas, demikian juga dengan periode rotasi mengelilingi porosnya. Gravitasi bumi juga sedemikian rupa sehingga gas-gas di atmosfernya tidak membeku di permukaannya, namun juga tidak lenyap ke ruang angkasa. Astmosfer inilah yang melindungi bumi dari hempasan meteor, radiasi kosmik serta menjaga distribusi energi dari panas sinar matahari. Struktur dan kerapatan udara di atmosfer juga sungguh cocok dengan kemampuan pernafasan mahluk hidup. Kemudian topografi permukaan bumi juga menjamin tidak ada badai yang berkepanjangan antara bagian bumi yang panas (siang, katulistiwa) dengan yang dingin (malam, kutub). Pendek kata bumi mengandung seluruh kondisi yang begitu ideal untuk menyangga kehidupan. Hal ini tidak terdapat di planet-planet lain di tata surya. Mungkin juga sangat sulit didapatkan di seluruh jagat raya yang bisa kita amati.

Maka melihat itu semua, kita sepantasnya berfikir, bahwa Allah, Sang Pencipta bumi ini, tentu juga memiliki maksud di balik itu semua. Buku ini mengupas secara mendalam, dengan bahasa yang ringan, bahwa Allah telah mengirim manusia ke bumi ini sebagai agen untuk sebuah misi. Deskripsi misi dan “standard operating procedure” untuk menjalankannya dijelaskan dalam wahyu-Nya melalui Rasul-Nya. Allah adalah “Tuan” kita, yang kita harus teguh loyal padanya. Kalau SOP-nya dilanggar, pasti itu akan membahayakan diri kita sendiri. Dia juga telah membekali kita segala hal (input) yang kita butuhkan, dan akan menilai apa prestasi (output) yang kita hasilkan. Prestasi dinilai dari loyalitas kepada Tuan, dan kecerdasan menggarap lahan. Lahan harus dikelola dengan tepat (yaitu diniati ikhlas menuju ridha Allah) dan optimal (yaitu benar menurut kaidah-kaidah hukum dan ilmu pengetahuan).

Dengan menyadari hidup mengemban Misi sebagai Agen dari satu Tuan untuk mengerjakan Lahan yang terbentang luas ini, kita jadi memiliki arti dalam hidup ini. Kita jadi tahu, bahwa perjalanan misi kita sebagai agen ini (yaitu kehadiran kita di dunia) adalah episode yang paling menentukan dalam hidup kita (yang sesungguhnya tidak berhenti dengan berpisahnya badan dengan ruh kita nanti). Kita juga tahu bahwa untuk mengemban misi ini diperlukan suatu formasi ideologis. Formasi ini yang akan memfokuskan potensi pada diri kita masing-masing, sehingga semua bersinergi demi suksesnya misi.

Namun seperti apakah formasi ini? Bagaimana menggalang formasi ini? Bagaimana menumbuhkan sikap profesional di setiap agen, demi berhasilnya misi? Dan bagaimana contoh-contoh empiris ketegaran para agen dalam menghadapi resiko misi? Jawabnya akan anda temukan setelah membaca buku yang segar dan penuh inspirasi ini.

Demokrasi Tersandera?



Menyingkap Misteri 2 ¼ Abad (1783 M – sekarang)

Pengarang : Husain Matla


Demokrasi adalah Pemimpin Dunia yang

  • Tidak sangar
  • “Ganteng”
  • “Baik hati dan tidak sombong”
  • Idola banyak orang
  • Peragu, tampak tidak tegas

Demokrasi telah GAGAL !!!

  • Konsumerisme (AS)
  • Kebobrokan moral (AS dan Eropa Barat)
  • Kekerasan dan subjektivitas (India, Pakistan, Bangladesh)
  • Kesenjangan sosial (Eropa Timur)
  • Krisis multidimensi (Indonesia, Philipina)

Selama ini Demokrasi berkoalisi dengan Sekularisme, Liberalisme, dan Kapitalisme

Jadi..., Demokrasi itu tersandera atau jahat…?

Untuk memahaminya, kita perlu melacak 8 Problem Dunia

  1. Ketika “c” terlepas dari Tuhan
  2. Pusat Alam Semesta
  3. Industri ketulusan
  4. Reward = -(Jasa) + k
  5. Planet Robot
  6. Ahli suami orang lain
  7. Fir’aunisasi ibu-ibu
  8. Split personality dan deviasi
Ket. :
jumlah hal : 192 hal+i

ukuran : 20,5 x 13 cm
harga : Rp. 35.000,-

Planet Robot


(salah satu bab dalam Demokrasi Tersandera?)

Alkisah, pada suatu masa, di dalam sebuah galaksi, terdapat sebuah planet yang di atasnya berlangsung sebuah peradaban. Peradaban itu sangat menjunjung produktivitas dan efisiensi. Miliaran robot dikerahkan dengan dikendalikan ratusan ribu manusia. Para manusia ini dipimpin lagi oleh ribuan manusia rasional. Para manusia rasional ini membentuk sentra-sentra produksi di berbagai tempat yang bertebaran di planet itu. Tiap-tiap dari mereka saling bersaing. Karena itu, untuk mengatasinya, mereka kemudian membentuk komite yang menjadi wasit atas persaingan mereka. Terdapat ratusan komite di planet itu. Delapan di antaranya merupakan komite besar. Ternyata tiap komite itu juga berkompetisi. Masing-masing mengandalkan dukungan dari para manusia rasional pemilik sentra produksi. Beberapa komite kemudian bergabung menjadi satu untuk melawan beberapa komite lainnya. Akhirnya, hanya ada dua konfederasi komite di planet itu.

Terdapat beberapa hal yang cukup unik di planet itu. Pertama, para robot yang bekerja di berbagai sentra produksi itu kadang-kadang berubah jadi manusia. Kalau sudah begitu, mereka kadang menyulitkan para manusia pengendali robot. Kedua, para manusia pengendali robot biasanya cukup cerdas menyikapi para robot. Hanya saja, ketika mereka menghadap para manusia rasional pemilik sentra produksi, mereka sekonyong-konyong berubah jadi robot. Ketiga, para manusia rasional pemilik sentra produksi seringkali kesulitan menangani masalah manusianisasi para robot. Mereka butuh jaminan bahwa para robot harus terus jadi robot. Jangan sampai jadi manusia. Karenanya, ketika para manusia pengendali sedang berubah jadi robot saat menghadap mereka, mereka sempatkan untuk memprogram mereka dengan program yang terjamin tak akan hilang saat mereka (manusia pengendali) nanti berubah menjadi manusia lagi, yaitu ketika bertemu para robot.

Karenanya, ketika para manusia pengendali itu kembali ke para robot, mereka tetap dalam keadaan terprogram, tapi mempunyai ekspresi manusia. Pikiran mereka sepenuhnya robot, tapi sikap dan gaya mereka sepenuhnya manusia. Karenanya, mereka cukup “tenang” menyikapi para robot. Mereka biasa dengan kepala dingin dan tangan dingin. Dengan keadaan itulah mereka menjaga para robot untuk tetap jadi robot. Dan dengan penjagaan kondisi inilah produktivitas dan efisiensi di planet itu tetap terjamin.
……..
……..
Pembaca yang budiman, gambaran di atas kiranya tak berlebihan untuk melukiskan planet biru, tempat kita berkejaran di atasnya…..
......

(Cuplikan bab PLANET ROBOT)

Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka (AEB&EOM)




(Antara Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Syariah)

Pengarang : Husain Matla


…. Ya, sangat mahal! Udara, hidung, telinga, istri, anak…, apakah itu cukup kita nilai dengan semilyar, setrilyun, sejuta trilyun? Apa ada orang yang mau kehilangan semua itu asal diganti dengan harta yang sangat melimpah?

Kalau begitu, bukankah semua orang yang hidup di dunia ini sebenarnya “kaya raya”? Atau setidaknya, bukankah selisih “kekayaan” antara si kaya dan si miskin itu hanya sedikit? Kenyataannya: segala sesuatu yang dimiliki tiap individu itu tidak cukup dinilai dengan seribu trilyun, sedangkan perbedaan harta antar mereka cuma pada kisaran milyar…, atau malah sekedar juta!

Tulisan ini tidak hendak mengajak untuk “tidak usah jadi orang kaya”, namun untuk merenungi “Mengapa demi mengejar harta yang cuma milyaran atau jutaan itu, banyak orang yang rela menggadaikan apa saja yang dimiliki, yang sebenarnya sangat berharga, yang tidak cukup dinilai dengan uang?”

Saya jadi berpikir: kalau begitu orang-orang semacam Imam Malik, yang “dipesantrenkan” sejak kecil; atau Imam Syafi’i, yang dididik oleh ibunya dengan “gaya pesantren”; juga Imam Ahmad bin Hambal ataupun Imam Bukhari yang teratur pendidikannya sejak kanak-kanak; hingga mereka semua hafal al-Qur’an di bawah usia lima belas tahun, dan berikutnya menjadi ulama yang disegani…, bukankah justru merasakan kenikmatan yang “milyaran”?

(Cuplikan Pendahuluan)
Ket.:
jumlah hal : 202+i
ukuran : 20,5 x 13 cm
harga : Rp. 35.000,-

Demi Kesehatan : Banyak Makanan?


(satu renungan dalam Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka)

Saya masih ingat waktu saya sedang makan di suatu resepsi pernikahan ketika saya masih mahasiswa dulu. Saat itu saya makan benar-benar banyak. Hampir semua jenis lauk yang disajikan saya ambil. Apalagi ketika makan es krim. Whhh.., saya ambil beberapa gelas. Pokoknya, benar-benar saya puaskan. “Biar nggak rugi. Nyumbang kok!” Begitu pikir saya. Dalam benak, saya banding-bandingkan antara sumbangan saya dan “harga” makanan yang saya makan.
Tapi setelah pulang perut saya jadi mulas dan mencret-mencret. Baru setelah beberapa kali buang air besar, saya merasa perut saya agak mendingan.

Lama setelah peristiwa itu saya merenung…, mengapa saat itu yang saya pikirkan cuma makanan dan uang? Mengapa saya sama sekali tidak berpikir tentang tubuh saya? Bukankah makan itu untuk tubuh? Lantas mengapa demi makan malah tubuh saya korbankan? Mengapa saya tidak berpikir kesehatan saya, tapi hanya berpikir “tidak rugi”, berpikir uang? Bukankah uang itu untuk kesehatan? Mengapa demi uang, kesehatan malah saya korbankan? Mengapa saya hanya berpikir “barang”, bukannya berpikir “saya”?

Tapi kalau saya pikir lebih jauh, rasanya kok yang rakus dan bodoh bukan cuma saya. Berapa banyak teman saya yang juga begitu?

Bahkan berikutnya saya menemukan bahwa orang macam saya itu makin bejibun, tidak cukup teman-teman saya. Belum tentu mereka semuanya berpikir persis saya dulu, tapi –minimal-- benak mereka terkondisikan menjadi seperti benak saya, baik sadar atau tidak sadar, baik berpikir langsung maupun menjadi bagian dari sistem pemikiran. Demikian banyak jumlah mereka. Tak hanya ribuan, jutaan, atau puluhan juta. Tapi milyaran…, hampir seluruh penduduk bumi! Ini karena sistem ekonomi yang kita pakai selama ini, Kapitalisme (kenyataannya harus diakui: de jure atau de facto) ternyata telah mengkondisikan tiap bayi yang lahir di planet ini dengan orientasi “jumlah barang”, bukan orientasi “kesejahteraan manusia”.

Masyarakat : Aquarium Butuh oksigen?


(satu renungan dalam Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka)

Yang dipikirkan para pengambil kebijakan selama ini, “Pertumbuhan sekarang naik berapa persen ya?” Sementara rakyat berpikir, “Lantas, kami dapat apa?” Pemerintah berpikir pertumbuhan. Sedangkan rakyat butuh pemerataan. Pemerintah memandang masyarakat seperti akuarium, yang jika ditambah oksigennya, ikan makin sehat. Masalahnya…, apakah barang-barang ekonomi itu seperti oksigen, yang bisa menyebar sendiri? Juga, apakah rakyat itu seperti ikan, yang punya kemampuan hampir sama untuk menjangkau oksigen itu? Apakah jika ekonomi tumbuh, berarti merata?


Rabu, 13 Agustus 2008

Andai Sahabat Nabi Lihat TiVi


Pengarang : Husain Matla

Pada tahun 1961, negara Islam Amerika Serikat berada dalam konflik terbuka dengan negara Kristen Uni Sovyet. Pemimpin negara Islam ini, John F. Kennedy (JFK), yang masih sangat muda, dengan wajahnya yang rupawan, penampilannya yang energik, serta popularitasnya yang menjulang, akhirnya lebih mendapatkan simpati dunia. Apalagi negara Islam Amerika Serikat dikenal sebagai pembebas dunia dari penindasan. Sementara pemimpin negara Kristen Uni Sovyet, Nikita Kruschev, semakin kurang mendapatkan simpati dunia karena citra negaranya sebagai negara diktator. Opini dunia semakin dimenangkan Amerika Serikat, negara Islam ini. Bahkan Mao Tse Tung, pemimpin negara Kristen China, malah menjauhi Kruschev dan mendekati pemimpin dunia Islam, JFK.

Perang dingin itu akhirnya dimenangkan oleh negara Islam Amerika Serikat tahun 1991. Saat itu Uni Sovyet, negara Kristen itu, luluh lantak, setelah dibubarkan oleh Boris Yeltsin. Islam akhirnya menjadi ideologi yang dominan di dunia. Francis Fukuyama bahkan membuat buku yang sangat populer, yang isinya bahwa ideologi Islam akan menjadi “the end of history”. Tak ketinggalan, Samuel Huntington, mengarang The Clash of Civilization, yang isinya bahwa dunia Islam pimpinan AS harus bersiap-siap menghadapi ideologi baru pengganti Kristen, yaitu Kapitalisme.

Cerita ini tentu saja bohong. Tak bisa dipercaya! Cerita itu baru akan jadi sejarah dan menjadi benar seutuhnya dengan beberapa catatan…..

(cuplikan bab Saat JFK Jadi Khalifah)

Ket.:
jumlah hal : 92 hal+i
ukuran : 13 x 10 cm
harga : Rp. 18.000,-